Minggu, 21 Februari 2010

TUGAS TAK RESMI

Arti dan konversi satuan PPM, PPB, mg/L

A. PPM (Part per Million atau bagian per sejuta bagian))

1 ppm = 1000 ppb
1 ppb = 1/1000 ppm

B. PPB (Part per Billion atau bagian per semilyar bagian)

1 ppm = 1 mg/L

C. mg/L (milligram per liter).
Jika ada data 1 ppm “sesuatu”, artinya terdapat 1 mg “sesuatu” dalam (per) 1 liter larutan.

1 mg/L = 1 ppm = 0,001 ppb


Sumber:
http://forum.onlineconversion.com/showthread.php?t=943
http://www.onlineconversion.com/forum/forum_1078389947.html


Penyebab Pemanasan Global

Definisi Pemanasan Global
Pada intinya, pemanasan global adalah peningkatan suhu udara di permukaan Bumi dan di lautan yang dimulai sejak abad ke-20 dan diprediksikan terus mengalami peningkatan. Sebagian besar ilmuwan menggunakan terminologi perubahan iklim daripada pemanasan global. Asumsinya adalah, yang terjadi sekarang ini tidak hanya fenomena bertambah panasnya suhu udara, tetapi juga iklim yang berubah-ubah. Kenapa itu bisa terjadi? Semuanya berasal dari bertambah panasnya suhu udara di Bumi. Arus angin dan laut lalu memindahkan panas ini ke segala penjuru Bumi. Pergerakan tersebut mendinginkan beberapa wilayah, memanaskan beberapa wilayah lainnya, dan mengubah jumlah curah hujan dan salju yang turun ke suatu tempat. Sebagai akibatnya, terjadi perubahan pola iklim global.


Gejala Pemanasan Global

Suhu rata-rata udara di permukaan Bumi meningkat 0,75ºC pada abad lalu, tetapi naiknya berlipat ganda dalam 50 tahun terakhir. Badan PBB, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), memproyeksikan bahwa pada tahun 2100 suhu rata-rata dunia cenderung akan meningkat dari 1,8ºC menjadi 4ºC – dan skenario terburuk bisa mencapai 6,4ºC – kecuali dunia mengambil tindakan untuk membatas emisi gas rumah kaca. Sepertinya, angka itu tidak begitu berarti bagi Anda. Akan tetapi, Anda perlu tahu, selama Zaman Es terakhir sekitar 11.500 tahun yang lalu, suhu rata-rata dunia hanya 5ºC lebih rendah daripada suhu udara sekarang, dan saat itu hampir seluruh benua Eropa tertutup lapisan es tebal! Tren pemanasan ini terus berlanjut: 11 tahun terpanas dalam sejarah semuanya terjadi dalam 12 tahun terakhir.

Hubungan Pemanasan Global dengan Efek Gas Rumah Kaca
Bumi ini sebetulnya secara alami menjadi panas karena radiasi panas matahari yang masuk ke atmosfer. Panas ini sebagian diserap oleh permukaan Bumi lalu dipantulkan kembali ke angkasa. Karena ada gas rumah kaca di atmosfer, di antaranya karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitro oksida (N2O), sebagian panas tetap ada di atmosfer sehingga Bumi menjadi hangat pada suhu yang tepat (60ºF/16ºC) bagi hewan, tanaman, dan manusia untuk bisa bertahan hidup. Mekanisme inilah yang disebut efek gas rumah kaca. Tanpa efek gas rumah kaca, suhu rata-rata di dunia bisa menjadi -18ºC. Sayangnya, karena sekarang ini terlalu banyak gas rumah kaca di atmosfer, terlalu banyak panas yang ditangkapnya. Akibatnya, Bumi menjadi semakin panas.


Penyebab Pemanasan Global

Dalam laporan terbaru, Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir! IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan nitro oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global.
Sekarang kita membahas apa saja yang menjadi sumber gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.


Peternakan

Pada tahun 2006, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengeluarkan laporan “Livestock’s Long Shadow” dengan kesimpulan bahwa sektor peternakan merupakan salah satu penyebab utama pemanasan global. Sumbangan sektor peternakan terhadap pemanasan global sekitar 18%, lebih besar dari sumbangan sektor transportasi di dunia yang menyumbang sekitar 13,1%. Selain itu, sektor peternakan dunia juga menyumbang 37% metana (72 kali lebih kuat daripada CO2 selama rentang waktu 20 tahun), dan 65% nitro oksida (296 kali lebih kuat daripada CO2).
Anda mungkin penasaran bagian mana dari sektor peternakan yang menyumbang emisi gas rumah kaca. Berikut garis besarnya menurut FAO:
Anda mungkin penasaran bagian mana dari sektor peternakan yang menyumbang emisi gas rumah kaca. Berikut garis besarnya menurut FAO:
1. Emisi karbon dari pembuatan pakan ternak
a. Penggunaan bahan bakar fosil dalam pembuatan pupuk menyumbang 41 juta ton CO2 setiap tahunnya
b. Penggunaan bahan bakar fosil di peternakan menyumbang 90 juta ton CO2 per tahunnya (misal diesel atau LPG)
c. Alih fungsi lahan yang digunakan untuk peternakan menyumbang 2,4 milyar ton CO2 per tahunnya, termasuk di sini lahan yang diubah untuk merumput ternak, lahan yang diubah untuk menanam kacang kedelai sebagai makanan ternak, atau pembukaan hutan untuk lahan peternakan
d. Karbon yang terlepas dari pengolahan tanah pertanian untuk pakan ternak (misal jagung, gandum, atau kacang kedelai) dapat mencapai 28 juta CO2 per tahunnya. Perlu Anda ketahui, setidaknya 80% panen kacang kedelai dan 50% panen jagung di dunia digunakan sebagai makanan ternak.
e. Karbon yang terlepas dari padang rumput karena terkikis menjadi gurun menyumbang 100 juta ton CO2 per tahunnya
2. Emisi karbon dari sistem pencernaan hewan
a. Metana yang dilepaskan dalam proses pencernaan hewan dapat mencapai 86 juta ton per tahunnya.
b. Metana yang terlepas dari pupuk kotoran hewan dapat mencapai 18 juta ton per tahunnya.
3. Emisi karbon dari pengolahan dan pengangkutan daging hewan ternak ke konsumen
a. Emisi CO2 dari pengolahan daging dapat mencapai puluhan juta ton per tahun.
b. Emisi CO2 dari pengangkutan produk hewan ternak dapat mencapai lebih dari 0,8 juta ton per tahun.
Industri peternakan terkait erat dengan pola konsumsi daging. Baru-baru ini, badan PBB yang lain, yaitu United Nations Environment Program (UNEP) menegaskan dalam buku panduan “Kick The Habit” bahwa pola makan daging untuk setiap orang per tahunnya menyumbang 6.700 kg CO2. Saat ini, penduduk Bumi berjumlah sekitar 6,7 miliar orang. Bila 5 miliar orang di antaranya adalah pemakan daging, coba Anda hitung berapa triliun CO2 yang dihasilkan setiap tahunnya? Kita perlu memprogram ulang kebiasaan makan kita. Dan Anda perlu tahu, vegetarian, menurut laporan UNEP, hanya menyumbang 190 kg CO2 per tahunnya.


Pembangkit Energi

Sektor energi merupakan sumber penting gas rumah kaca, khususnya karena energi dihasilkan dari bahan bakar fosil, seperti minyak, gas, dan batu bara, di mana batu bara banyak digunakan untuk menghasilkan listrik. Sumbangan sektor energi terhadap emisi gas rumah kaca mencapai 25,9%.


Industri

Sumbangan sektor industri terhadap emisi gas rumah kaca mencapai 19,4%. Sebagian besar sumbangan sektor industri ini berasal dari penggunaan bahan bakar fosil untuk menghasilkan listrik atau dari produksi C02 secara langsung sebagai bagian dari pemrosesannya, misalnya saja dalam produksi semen. Hampir semua emisi gas rumah kaca dari sektor ini berasal dari industri besi, baja, kimia, pupuk, semen, kaca dan keramik, serta kertas.


Pertanian

Sumbangan sektor pertanian terhadap emisi gas rumah kaca sebesar 13,5%. Sumber emisi gas rumah kaca pertama-tama berasal dari pengerjaan tanah dan pembukaan hutan. Selanjutnya, berasal dari penggunaan bahan bakar fosil untuk pembuatan pupuk dan zat kimia lain. Penggunaan mesin dalam pembajakan, penyemaian, penyemprotan, dan pemanenan menyumbang banyak gas rumah kaca. Yang terakhir, emisi gas rumah kaca berasal dari pengangkutan hasil panen dari lahan pertanian ke pasar.


Alih Fungsi Lahan dan Pembabatan Hutan

Sumber lain C02 berasal dari alih fungsi lahan di mana ia bertanggung jawab sebesar 17.4%. Pohon dan tanaman menyerap karbon selagi mereka hidup. Ketika pohon atau tanaman membusuk atau dibakar, sebagian besar karbon yang mereka simpan dilepaskan kembali ke atmosfer. Pembabatan hutan juga melepaskan karbon yang tersimpan di dalam tanah. Bila hutan itu tidak segera direboisasi, tanah itu kemudian akan menyerap jauh lebih sedikit CO2.


Transportasi

Sumbangan seluruh sektor transportasi terhadap emisi gas rumah kaca mencapai 13,1%. Sektor transportasi dapat dibagi menjadi transportasi darat, laut, udara, dan kereta api. Sumbangan terbesar terhadap perubahan iklim berasal dari transportasi darat (79,5%), disusul kemudian oleh transportasi udara (13%), transportasi laut (7%), dan terakhir kereta api (0,5%).


Hunian dan Bangunan Komersial

Sektor hunian dan bangunan bertanggung jawab sebesar 7,9%. Namun, bila dipandang dari penggunaan energi, maka hunian dan bangunan komersial bisa menjadi sumber emisi gas rumah kaca yang besar. Misalnya saja dalam penggunaan listrik untuk menghangatkan dan mendinginkan ruangan, pencahayaan, penggunaan alat-alat rumah tangga, maka sumbangan sektor hunian dan bangunan bisa mencapai 30%. Konstruksi bangunan juga mempengaruhi tingkat emisi gas rumah kaca. Sebagai contohnya, semen, menyumbang 5% emisi gas rumah kaca.


Sampah

Limbah sampah menyumbang 3,6% emisi gas rumah kaca. Sampah di sini bisa berasal dari sampah yang menumpuk di Tempat Pembuangan Sampah (2%) atau dari air limbah atau jenis limbah lainnya (1,6%). Gas rumah kaca yang berperan terutama adalah metana, yang berasal dari proses pembusukan sampah tersebut.


Sumber:
http://www.pemanasanglobal.net/faq/apa-penyebab-utama-pemanasan-global.html
http://infopemanasanglobal.wordpress.com/2009/03/08/penyebabpemanasanglobal/
info pemanasan global / banyak


Tentang DDT (Dikloro Difenil Trikloroetana)

Pada bulan Juli 1998, perwakilan dari 120 negara bertemu untuk membahas suatu pakta Persatuan Bangsa Bangsa untuk melarang penggunaan DDT sebagai insektisida dan 11 bahan kimia lainnya secara global pada tahun 2000. Amerika Serikat dan negara-negara industri lain menyetujui pelarangan ini karena bahan-bahan kimia ini adalah senyawa kimia yang persisten dimana senyawa-senyawa ini dapat terakumulasi dan merusak ekosistem alami dan memasuki rantai makanan manusia. Namun banyak negara tidak setuju dengan pelarangan DDT secara global karena DDT digunakan untuk mengkontrol nyamuk penyebab malaria. Malaria timbul di 90 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan merupakan penyebab kematian dalam jumlah besar terutama daerah ekuatorial Afrika.
Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa 2.5 juta orang tewas setiap tahun akibat malaria dan ini kian terjadi di berbagai belahan dunia. Namun karena DDT begitu efektif dalam mengontrol nyamuk penyebab malaria, banyak ahli berpikir bahwa insektisida menyelamatkan lebih banyak jiwa dibandingkan bahan kimia lainnya.
DDT diproduksi secara massal pada tahun 1939, setelah seorang kimiawan bernama Paul Herman Moller menemukan dengan dosis kecil dari DDT maka hampir semua jenis serangga dapat dibunuh dengan cara mengganggu sistem saraf mereka. Pada waktu itu, DDT dianggap sebagai alternatif murah dan aman sebagai jenis insektisida bila dibandingkan dengan senyawa insektisida lainnya yang berbasis arsenik dan raksa. Sayangnya, tidak seorangpun yang menyadari kerusakan lingkungan yang meluas akibat pemakaian DDT.
Sebagai suatu senyawa kimia yang persisten, DDT tidak mudah terdegradasi menjadi senyawa yang lebih sederhana. Ketika DDT memasuki rantai makanan, ini memiliki waktu paruh hingga delapan tahun, yang berarti setengah dari dosis DDT yang terkonsumsi baru akan terdegradasi setelah delapan tahun. Ketika tercerna oleh hewan, DDT akan terakumulasi dalam jaringan lemak dan dalam hati. Karena konsentrasi DDT meningkat saat ia bergerak ke atas dalam rantai makanan, hewan predator lah yang mengalami ancaman paling berbahaya. Populasi dari bald eagle dan elang peregrine menurun drastis karena DDT menyebabkan mereka menghasilkan telur dengan cangkang yang tipis dimana telur ini tidak akan bertahan pada masa inkubasi. Singa laut di lepas pantai California akan mengalami keguguran janin setelah memakan ikan yang terkontaminasi.
Seperti yang terlihat pada diagram, DDT (dikloro difenil trikloroetana) adalah senyawa hidrokarbon terklorinasi. Tiap heksagon dari struktur ini terdapat gugus fenil (C6H5-) yang memiliki atom klor yang mengganti satu atom hidrogen. Namun, perubahan kecil pada struktur molekularnya dapat membuat hidrokarbon terklorinasi ini aktif secara kimia.
Dengan memanipulasi molekul DDT dalam cara ini, kimiawan berharap untuk mengembangkan suatu insektisida yang efektif namun ramah lingkungan, dimana senyawa in akan mudah terdegradasi. Namun disaat bersamaan, para peneliti sedang menyelidiki cara lain untuk mengkontrol populasi nyamuk. Salah satu caranya adalah penggunaan senyawa menyerupai hormon yang menyebabkan nyamuk mati kelaparan, hingga dapat mengurangi populasinya hingga dapat mengurangi penyebaran malaria.


Sumber:
http://www.rudyct.com/dethh/9_DDT_and_its_problem.html
http://kimiadahsyat.blogspot.com/2009/07/bahaya-ddt-pada-makhluk-hidup.html

MAKALAH KIMIA LINGKUNGAN PENCEMARAN ORGANOKLORIN


MAKALAH

KIMIA LINGKUNGAN


PENCEMARAN ORGANOKLORIN

Diajukan pada seminar mata kuliah Kimia Lingkungan / HLKK 206

Tanggal, 22 Februari 2010

Oleh :

KELOMPOK 11


Dosen Pembimbing :

NOPI STIYATI PRIHATINI, S.Si, M.T

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK LINGKUNGAN

2010


MAKALAH

KIMIA LINGKUNGAN

PENCEMARAN ORGANOKLORIN

Dosen Pembimbing

NOPI STIYATI PRIHATINI, S.Si, M.T

OLEH

Anshari Agus Framana

H1E109044

Hijratus Syaripah

H1E109011

Janette Debora Toewan

H1E109059

Muhammad Ajrin

H1E109066

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK LINGKUNGAN

2010

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.................................................................................. ....... 1

1.2 Tujuan Penulisan .............................................................................. ....... 1

1.3 Batasan Masalah .............................................................................. ....... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. ORGANOCHLORINE

2.1 Ciri-ciri Fisik .................................................................................... ....... 2

2.2 Keberadaan Alami ........................................................................... ....... 2

2.3 Reaksi ............................................................................................... ....... 4

2.4 Aplikasi ............................................................................................ ....... 4

2.5 Toksisitas .......................................................................................... ....... 5

B. PENCEMARAN ORGANOCHLORINE

Pencemaran Organoklorin di Laut ................................................................. 8

Organoklorin pada Bulu Walet Sarang Putih ................................................ 9

Organoklorin dan Kanker Payudara ............................................................ 10

Pencemaran Senyawa Organoklorin Jenis PCBs dan DDT ......................... 13

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ...................................................................................... ..... 17

3.2 Saran ................................................................................................ ..... 17

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... ..... 18


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan karunia-Nya sehingga makalah “Pencemaran Organoklorin” ini dapat terselesaikan dengan baik.

Makalah ini tersusun serta diajukkan pada seminar mata kuliah Kimia Lingkungan / HLKK 206.

Tak lupa ucapan terimakasih saya sampaikan kepada dosen pengajar mata kuliah Kimia Lingkungan / HLKK 206, rekan-rekan serta semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan moril dalam terselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh sempurna, baik dalam penguasaan materi maupun tata bahasa penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.



Banjarbaru, 20 Februari 2010

Penulis,

Kelompok 11


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kontaminasi organochlorine universal telah terlibat dalam regional dan global epidemi penyakit pada manusia dan satwa liar, termasuk gangguan reproduksi, pengembangan, fungsi kekebalan dan perilaku. Inilah memperkuat fakta bahwa organoklorin menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Pestisida organoklorin telah menyebabkan masalah yang serius karena kestabilan kimianya yang tinggi. Sebagian organoklorin sukar diuraikan, lantas mengakibatkan masalah pencemaran dan penumpukan dalam sistem akuatik, rantai makanan dan manusia.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini yaitu :

1. Memberikan penyampaian tentang Organoklorin.

2. Memahami lebih dalam tentang pengertian, ciri-ciri, struktur aplikasi, tingkat ketoksisitasannya, serta pengaruhnya terhadap kesehatan dan lingkungan.

1.3 Batasan Masalah

Agar penulisan ini lebih terarah dan memberikan pembahasan yang lebih rinci maka dibuat batasan studi yang tidak mengurangi sasaran studi. Batasan yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Pengertian umum Organoklorin.

2. Tingkat ketoksisitasan Organoklorin.

3. Sejarah perkembangan Organoklorin sejak awal muculnya sampai dihentikannya produksi Organoklorin.

4. Dampaknya terhadap kesehatan Manusia dan pencemaran Lingkungan.

5. Pencemaran Senyawa Organoklorin Jenis PCBs dan DDT.

BAB II

A. ORGANOCHLORINE

Sebuah organochloride, organochlorine, chlorocarbon, diklorinasi hidrokarbon, atau diklorinasi pelarut adalah senyawa organik yang mengandung setidaknya satu kovalen klorin atom. Struktural lebar mereka beragam dan berbeda sifat kimia mengarah ke berbagai aplikasi. Banyak derivatif yang kontroversial karena efek dari senyawa ini pada lingkungan.

2.1 CIRI – CIRI FISIK

Klorida substituen memodifikasi sifat fisik senyawa organik dalam beberapa cara. Mereka biasanya lebih padat daripada air karena kehadiran atom tinggi klorin. Substituen klorida interaksi antarmolekul menyebabkan lebih kuat dari hidrogen substituen. Efek ini diilustrasikan oleh tren dalam titik didih: metana (-161,6° C), metil klorida (-24,2° C), diklorometana (40° C), kloroform (61.2° C), dan karbon tetraklorida (76,72° C). Peningkatan interaksi antarmolekul tersebut diberikan untuk efek kedua van der Waals dan polaritas.

2.2 KEBERADAAN ALAMI

Meskipun jarang terjadi dibandingkan dengan non-halogen senyawa organik, banyak organochlorine senyawa telah diisolasi dari sumber alami mulai dari bakteri ke manusia. Diklorinasi senyawa organik dapat ditemukan di hampir setiap kelas dari biomolekul termasuk alkaloid, terpene, asam amino, flavonoid, steroid, dan asam lemak.

Organochlorides, termasuk dioxin, yang dihasilkan dalam lingkungan suhu tinggi kebakaran hutan, dan dioksin telah ditemukan dalam abu diawetkan memicu petir-api yang ada sebelum sintetis dioksin. Selain itu, berbagai hidrokarbon diklorinasi sederhana termasuk diklorometana, kloroform, dan karbon tetraklorida telah diisolasi dari ganggang laut.

Sebagian besar dari chloromethane dalam lingkungan yang diproduksi secara alami oleh dekomposisi biologis, kebakaran hutan, dan gunung berapi. Alam organochloride epibatidine, sebuah alkaloid terisolasi dari pohon katak, telah ampuh analgesik efek dan telah mendorong penelitian menjadi obat penghilang rasa sakit baru.

DARI KLORIN

Alkana dan arylalkanes dapat diklorinasi di bawah kondisi radikal bebas, dengan sinar UV. Namun, tingkat klorinasi sulit dikendalikan. Aril klorida dapat disiapkan oleh Friedel-Crafts halogenation, menggunakan klorin dan asam Lewis katalis. Haloform reaksi, menggunakan klorin dan natrium hidroksida, juga mampu menghasilkan bentuk alkil halida metil keton, dan senyawa terkait. Kloroform demikian dihasilkan sebelumnya. Klorin menambah beberapa obligasi pada alkena dan alkuna juga, memberi di-atau tetra-chloro senyawa.

a) REAKSI DENGAN HIDROGEN KLORIDA

Alkena bereaksi dengan hidrogen klorida untuk memberikan alkil klorida:


Alkohol sekunder dan tersier bereaksi dengan reagen Lucas (seng klorida dalam konsentrasi asam klorida) untuk memberikan sesuai alkil halida; reaksi ini metode untuk mengklasifikasikan alkohol:


b) DARI AGEN KLOR LAIN

Alkil klorida yang paling mudah disiapkan oleh alkohol bereaksi dengan klorida thionyl, fosfor triklorida (, dan fosfor pentaklorida (




Di laboratorium, terutama thionyl klorida nyaman, karena merupakan produk samping gas atau, reaksi Appel:


2.3 REAKSI

Alkil klorida adalah gedung serbaguna blok dalam kimia organik. Sementara alkil bromida dan iodida lebih reaktif, alkil klorida cenderung lebih murah dan lebih mudah tersedia. Alkil klorida mudah mengalami serangan oleh nukleofil.

Pemanasan alkil halida dengan natrium hidroksida atau air memberikan alkohol. Reaksi dengan alkoxides atau aroxides memberikan eter dalam sintesis eter Williamson; reaksi dengan thiols memberikan thioethers. Alkil klorida mudah bereaksi dengan amina untuk memberikan diganti amina. Alkil klorida diganti oleh halida lebih lembut seperti iodida dalam reaksi Finkelstein. Reaksi dengan pseudohalida seperti azida, sianida, dan tiosianat yang mungkin juga. Dengan keberadaan basa kuat, alkil klorida mengalami dehydrohalogenation untuk memberikan alkena atau alkuna.

Alkil klorida bereaksi dengan magnesium untuk memberikan reagen Grignard, mengubah sebuah elektrofilik senyawa menjadi nukleofilik senyawa. Para Reaksi Wurtz pasangan reductively dua alkil halida untuk pasangan dengan natrium.

2.4 APLIKASI

· Vinil klorid

Penerapan terbesar adalah organochlorine kimia produksi vinil klorida, pendahulu PVC. Dengan produksi tahunan pada tahun 1985 sekitar 13 miliar kilogram, hampir semua yang diubah menjadi polyvinylchloride.

· Chloromethanes

Kebanyakan berat molekul rendah diklorinasi hidrokarbon seperti kloroform, diklorometana, dichloroethene, dan trichloroethane berguna pelarut. Pelarut ini cenderung relatif non-polar; mereka sehingga tidak bercampur dengan air dan efektif dalam aplikasi seperti membersihkan degreasing dan dry cleaning. Beberapa miliar kilogram methanes diklorinasi diproduksi setiap tahun, terutama oleh klorinasi metana:


Yang paling penting adalah diklorometana, yang terutama digunakan sebagai pelarut. Chloromethane adalah pendahulu untuk chlorosilanes dan Silikon. Historis signifikan, namun dalam skala yang lebih kecil adalah kloroform, terutama yang pendahulu chlorodifluoromethane () dan tetrafluoroethene yang digunakan dalam pembuatan Teflon.

· Pestisida

Banyak pestisida mengandung klorin. Contoh terkenal termasuk DDT, dicofol, heptachlor, endosulfan, Chlordane, aldrin, dieldrin, endrin, mirex, dan pentachlorophenol. Ini dapat berupa hidrofilik atau hidrofobik tergantung pada struktur molekul mereka. Banyak dari agen ini telah dilarang di berbagai negara, misalnya mirex, aldrin.

Poliklorinasi bifenil (PCB) yang umum digunakan sekali insulator listrik dan agen perpindahan panas. Mereka menggunakan secara umum telah dihapus karena masalah kesehatan. PCB digantikan oleh polybrominated difenil eter (), yang membawa racun yang serupa dan bioaccumulation keprihatinan.

2.5 TOKSISITAS

Beberapa jenis toksisitas organochlorides telah signifikan untuk tanaman atau hewan, termasuk manusia. Dioxin, bahan organik dihasilkan ketika dibakar di hadapan klorin, dan beberapa insektisida seperti DDT adalah polutan organik yang menimbulkan bahaya ketika mereka dilepaskan ke lingkungan. Sebagai contoh, DDT, yang secara luas digunakan untuk mengendalikan serangga di pertengahan abad ke-20, juga terakumulasi dalam rantai makanan perairan. Karena tubuh tidak dapat memecah atau buang itu, dan kalsium mengganggu metabolisme pada burung, ada parah penurunan populasi beberapa burung pemangsa.

Ketika diklorinasi pelarut, seperti karbon tetraklorida, tidak dibuang dengan benar, mereka menumpuk di tanah. Beberapa sangat reaktif organochlorides seperti phosgene bahkan telah digunakan sebagai agen perang kimia.

Namun, keberadaan klorin dalam senyawa organik tidak menjamin toksisitas. Banyak organochlorides cukup aman untuk dikonsumsi dalam makanan dan obat-obatan. Misalnya, kacang polong dan kacang-kacangan luas berisi hormon tanaman diklorinasi alam 4-chloroindole-3-asam asetat (4-Cl-IAA); dan pemanis sucralose (Splenda) secara luas digunakan dalam produk makanan. Sejak 2004, sedikitnya ada 165 organochlorides disetujui di seluruh dunia untuk digunakan sebagai obat-obatan farmasi, termasuk antibiotik alami vankomisin, yang antihistamin loratadine (Claritin), antidepresi sertraline (Zoloft), anti-epilepsi lamotrigine (lamictal), dan inhalasi anestesi isoflurane.

Rachel Carson membawa isu toksisitas pestisida DDT kesadaran publik dengan buku 1962 Silent Spring. Meskipun banyak negara telah dihapus penggunaan beberapa jenis organochlorides seperti larangan AS DDT, gigih DDT, PCB, dan lain residu terus organochloride ditemukan pada manusia dan mamalia di seluruh planet bertahun-tahun setelah produksi dan penggunaan telah terbatas . Di Arktik daerah, khususnya tingkat tinggi ditemukan di mamalia laut. Bahan kimia ini berkonsentrasi pada mamalia, dan bahkan ditemukan dalam air susu manusia. Laki-laki biasanya memiliki tingkat jauh lebih tinggi, sebagai perempuan mengurangi konsentrasi dengan transfer ke keturunannya melalui menyusui.

B. Pencemaran Organochlorine

Organoklorin merupakan bahan kimia yang mengandung karbon dan klorin. Banyak organoklorin yang berbahaya karena mereka tidak rusak dengan mudah. Ini berarti mereka tinggal di lingkungan dan tubuh kita untuk waktu yang lama. Mereka dapat terkonsentrasi dalam rantai makanan sehingga hewan-hewan di bagian atas rantai makanan, seperti manusia, akan memiliki tingkat tertinggi. Ada 12 organoklorin terdaftar sebagai POP (bertahan polutan organik).

Organoklorin adalah membentuk uap dan dapat dibawa oleh udara untuk jarak jauh. Akhirnya, mereka mengembun dan didepositkan di daratan atau dilarutkan dalam air. Contoh pestisida organoklorin yang sering digunakan dalam kehidupan;

· Aldrin

· Dieldrin dicofol

· Endosulfan

· Endrin chlordane

· DDT

· Heptaklor

· Lindane

· Benzane hexacloride (BHC)

Contoh di atas dapat digolongkan sebagai senyawa aktif yang terkandung pada jenis-jenis pestisida organoklorin dengan toksisitas yang berbeda. Sedangkan sifat umumnya adalah kelarutan rendah dalam air, lipofilitas tinggi, persisten dalam lingkungan alamiah, terbioakumulasi dalam makhluk hidup dan terbiomagnifikasi melalui rantai makanan. Berdasarkan Toksisitasnya dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Sangat toksik : aldrin, endosulfan, dieldrin

2. toksik sederhana : Clordane, DDT,lindane, heptaklor

3. kurang toksik : Benzane hexacloride (BHC)

Organoklorin yang telah digunakan termasuk dioxin, poliklorinasi bifenil (PCB), pentachlorophenol (PCP), dieldrin dan dichloro-diphenil-trichloroethane (DDT). PCB dan PCP bersifat racun dalam hak mereka sendiri tetapi keduanya juga mengandung dioksin.

Organoklorin telah digunakan sebagai insektisida seperti domba dieldrin mencelupkan, PCP telah digunakan dalam merawat kayu, dan semprotan DDT telah digunakan di lahan pertanian dan di rumah. Penggunaan pestisida organochlorine dibatasi oleh serangkaian undang-undang sehingga, pada pertengahan 1970-an, mereka tidak sedang digunakan dalam pertanian dan hortikultura.

Dioxin adalah organochlorine namun tidak dibuat sebagai adalah PCB, PCP, dieldrin dan DDT. Hal ini dihasilkan ketika bahan organik dibakar di hadapan klorin. Pembakaran limbah, klorin pemutihan pulp dan kertas, dan beberapa proses industri semua dapat menciptakan dioksin dalam jumlah kecil. Mereka mungkin juga dapat terbentuk dari sumber-sumber alam seperti kebakaran hutan.

Kebanyakan dioksin melarikan diri ke lingkungan dari emisi udara. Dioksin dapat tinggal di udara untuk waktu yang lama dan dibawa jarak yang sangat jauh sebelum menetap di tanah atau air. Jika dioksin pastoral menetap di tanah, mereka mungkin diambil oleh binatang pemakan rumput dan hewan yang tersimpan dalam daging dan susu. Dioxin juga dapat memasukkan sungai kami, danau dan muara di limbah lucutan, di mana mereka dapat diambil oleh ikan dan kerang. Lebih dari 90 persen terpapar dioksin kita berasal dari makan daging, produk susu dan ikan. Bayi juga dapat terpapar dioxin yang telah terkumpul di dalam air susu ibu.

Pencemaran Organoklorin di Laut

Laut mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam, selain kandungan hayati lautnya, laut juga memiliki kekayaan bahan non-organik seperti mineral-mineral, minyak bumi dan bahan-bahan tambang lainnya. Bahan-bahan tersebut terbentuk melalui proses geologi, fisika, kimia dan biologi yang tidak hanya terjadi di lautan, tetapi juga melibatkan daratan. Misalnya, material letusan gunung berapi yang terjatuh sampai di laut, atau kikisan material dari darat yang terbawa oleh air sungai. Dengan demikian, mineral-mineral di lautan memiliki distribusi yang luas.

Terjadinya pencemaran di laut tidak lepas dari masuknya mineral – mineral yang terbawa melaluai run off atau aliran sungai yang membawa berbagai macam logam berat. Ancaman juga datang dari pencemaran limbah industri, terutama logam dan senyawa organoklorin. Dua jenis bahan berbahaya ini mengakibatkan terjadinya akumulasi (penumpukan kandungan) logam berat padang melalui proses yang disebut magnifikasi biologis. Persis seperti penumpukan kandungan merkuri yang menimpa kerang.

Organoklorin Pada Bulu Walet Sarang Putih

Hasil penelitian di Yogjakarta mengenai kandungan organoklorin pada sampel berupa bulu walet sarang putih menunjukkan bahwa 10% sampel (n=10) mengandung heptaklor dan 40% sampel (n=10) mengandung pp-DDD. Kandungan heptaklor pada bulu walet sarang putih berkisar antara 0 sampai 0,5855 ppm dan pp-DDD berkisar antara 0 sampai 0,0929 ppm.

Heptaklor yang terdapat pada bulu walet sarang putih adalah epoxide heptaklor yang terakumulasi dalam jaringan lemak pada ikan dan burung, bahkan dapat ditemukan pula pada hati, otot dan telur burung. Selain heptaklor, pada bulu mengandung pp-DDD (hasil degradasi yang diturunkan dari dehidroklorinasi biologis dan deklorinasi reduktif DDT) (Connell & Miller (1995). Senyawa pp-DDD bersifat stabil dan aktif secara biologis.

Variasi jenis dan jumlah organoklorin pada bulu walet sarang putih disebabkan karena dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah perbedaan daerah jelajah masing-masing walet sarang putih yang ditangkap. Menurut Mardiastuti et.al., (1998), daerah jelajah walet sarang putih berkisar antara 25 sampai 40 km. Dengan demikian, semakin jauh daerah jelajah walet sarang putih maka kemungkinan mengalami kontak dengan insektisida semakin besar.

Kemungkinan kedua adalah perbedaan usia masing-masing walet sarang putih yang ditangkap. Hal ini terlihat pada variasi ukuran tubuh walet sarang putih saat pengamatan di lapangan dan variasi berat sampel bulu walet sarang putih yang ditangkap. Rata-rata ketahanan hidup walet sarang putih adalah 14 tahun (variasi 10 sampai 20 tahun), sedangkan daya tahan insektisida organoklorin pada jaringan hewan berkisar antara 3 sampai 5 tahun dan kemudian akan terus mengalami transformasi di dalam jaringan hewan dalam waktu 5 tahun (Hassal, 1990 ; Connell & Miller, 1995). Dengan demikian, semakin besar usia walet sarang putih maka kemungkinan akumulasi insektisida organoklorin dalam tubuhnya semakin tinggi.

Kandungan pp-DDD pada bulu walet dimungkinkan karena masih digunakan DDT. Penggunaan DDT dilarang oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1973 (Untung, 1993), namun dijelaskan oleh Anonim (2000) dan Kusno (1994) bahwa DDT masih dianjurkan penggunaannya di sektor kesehatan hingga tahun 2000 untuk mengendalikan nyamuk malaria. Alasan larangan tersebut adalah karena sifat persistensinya yang sangat lama di tanah maupun di jaringan tanaman dan jaringan hewan. Hal tersebut dijelaskan Untung (1993) bahwa kurun waktu 17 tahun residu DDT dalam tanah masih 39%.

Selain DDT, sejak tahun 1990 penggunaan heptaklor dilarang oleh Pemerintah Indonesia (Untung 1993 ; Anonim 2001a), sedangkan oleh Pemerintah Amerika Serikat heptaklor dilarang sejak tahun 1983 (Peterle, 1991).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran kandungan heptaklor pada bulu walet sarang putih antara 0 sampai 0,5855 ppm dan pp-DDD antara 0 sampai 0,0929 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 0,5855 mg heptaklor dalam 1 kg bulu walet sarang putih dan 0,0929 mg pp-DDD dalam 1 kg bulu walet sarang putih.

Organoklorin dan Kanker Payudara \

Beberapa baris bukti menunjukkan bahwa organoklorin berkontribusi terhadap kanker payudara di populasi umum. Bukti eksperimental. Ratusan organoklorin telah terbukti menyebabkan kanker pada hewan laboratorium dan / atau manusia. Dari ribuan yang belum diuji, setidaknya beberapa kemungkinan besar akan berubah menjadi karsinogenik.

Setidaknya 16 organoklorin atau kelompok organoklorin telah ditemukan secara khusus menyebabkan kanker payudara di laboratorium hewan, walaupun hanya sedikit telah diuji untuk efek ini. Beberapa adalah pestisida, seperti DDT, aldrin, dieldrin, dan Chlordane-yang telah dibatasi tetapi tetap Common kontaminan lingkungan hidup dan masih digunakan di negara-negara lain. Tapi organoklorin lain diidentifikasi sebagai karsinogen mammae masih umum digunakan, termasuk yang berikut:

§ Atrazine: salah satu yang paling banyak digunakan herbisida di Amerika Utara dan Eropa dan kontaminan yang sangat umum air tanah dan air permukaan;

§ Vinyl chloride, ethylene dichloride, dan vinyledene klorida: bahan baku untuk plastik Common polyvinyl chloride (PVC, atau vinil) dan polyvinylidene klorida (Saran wrap);

§ Metilena klorida: pelarut yang umum dan cat-penari telanjang;

§ Dichlorobenzidines, dichloropropane dan Trichloro-propana: intermediet yang digunakan dalam industri kimia untuk memproduksi pewarna dan bahan kimia lainnya.

Sebagian besar organoklorin belum diuji untuk membuktikan besar pengaruhnya terhadap kanker payudara, tetapi kemungkinan bahwa beberapa di antaranya, khususnya mereka yang secara struktural atau toxicologically serupa dengan yang sudah diidentifikasi sebagai karsinogen mammae, ternyata akan menyebabkan efek yang sama.

· Mekanisme biologis. Penelitian terbaru perilaku organoklorin dalam tubuh menunjukkan bagaimana bahan kimia ini dapat berkontribusi untuk kanker payudara pada manusia. Organoklorin telah terbukti menimbulkan mutasi genetik, menekan sistem kekebalan tubuh, dan mengganggu kontrol alami tubuh pada pertumbuhan sel dan replikasi. Beberapa organoklorin yang dikenal sebagai "hormon aktif": mereka meniru atau sebaliknya mengganggu tindakan alami alami tubuh hormon seks, termasuk estrogen. Karena estrogen adalah faktor risiko untuk kanker payudara, zat kimia yang bertindak seperti estrogen juga cenderung meningkatkan risiko penyakit. Paparan bahan kimia ini selama masa dewasa dapat menyebabkan estrogen-seperti efek dan mempromosikan kanker payudara. Dan dalam rahim paparan hormon bahan kimia aktif seumur hidup dapat menyebabkan perubahan dalam sistem endokrin yang dapat menyebabkan risiko kanker payudara bertahun-tahun kemudian.

· Kanker payudara pada wanita dengan eksposur yang tinggi. Perempuan terpapar lebih tinggi dari tingkat normal sintetis kimia-termasuk organoklorin-telah ditemukan memiliki tingkat tinggi secara signifikan kanker payudara. Kelompok-kelompok ini termasuk wanita pekerja industri kimia terpapar dioxin, perempuan yang tinggal di dekat lokasi limbah berbahaya, wanita ahli kimia, dan perempuan pekerja terkena diklorinasi dan non-diklorinasi pelarut.

· Studi jaringan. Penelitian baru yang penting terhubung organoklorin risiko kanker payudara di kalangan wanita dari populasi umum-mereka yang tidak biasa eksposur kimia. Beberapa studi telah menemukan hubungan antara tingkat organoklorin tertentu dalam darah wanita, lemak, atau jaringan payudara dan risiko kanker payudara. Perempuan dengan konsentrasi tertinggi organochlorine tertentu pestisida dalam tubuh mereka telah ditemukan memiliki risiko kanker payudara 4-10 kali lebih tinggi daripada perempuan dengan tingkat yang lebih rendah. Jika penelitian masa depan menegaskan bahwa efek dari bahan kimia ini memang yang kuat, organoklorin akan menjadi di antara yang paling penting faktor risiko kanker payudara yang pernah diidentifikasi.

· Kasus Israel. Di Israel, kebijakan nasional untuk melarang organoklorin tampaknya telah membantu mengurangi tingkat kanker payudara. Hingga pertengahan 1970-an, baik tingkat kanker payudara dan tingkat kontaminasi oleh beberapa organochlorine pestisida termasuk di antara yang paling tinggi di dunia. Setelah tahap yang agresif-program dari orang-orang kimia, tingkat kontaminasi jatuh ke tingkat yang ditemukan di negara-negara lain, dan kanker payudara kematian segera diikuti, jatuh ke tingkat yang sama dengan yang di negara-negara lain. Penurunan ini, yang disebarkan di seluruh kelompok usia dalam "dosis-respons" pola, adalah terutama penting, mengingat peningkatan pesat kanker payudara yang terjadi di negara-negara lain selama periode yang sama. Selanjutnya, semua makanan dan faktor risiko reproduksi di Israel benar-benar semakin memburuk selama periode yang bersangkutan.

· Terkait efek pada orang dan satwa liar. Bukti yang muncul menyangkut kontaminasi organochlorine global dalam array efek kesehatan lain di antara manusia dan satwa liar. Saat ini tingkat kontaminan dalam kisaran di mana gangguan hormonal dan efek lain diketahui terjadi. Paparan senyawa ini telah dikaitkan dengan ketidaksuburan, kegagalan reproduksi, gangguan perkembangan, penekanan kekebalan tubuh, dan kemungkinan kanker lainnya kanker testis-terutama-di kalangan mamalia laut, spesies lain ikan dan satwa liar, dan manusia. Jika tingkat lingkungan organoklorin yang cukup tinggi untuk menyebabkan efek ini, adalah masuk akal bahwa mereka juga cukup tinggi menyebabkan kanker payudara.

· Kecenderungan di tingkat insiden kanker payudara konsisten dengan meningkatnya kontaminasi oleh organoklorin. Negara-negara industri, dengan lebih parah polusi, juga cenderung memiliki kanker payudara lebih tinggi daripada kurang tingkat negara-negara industri.

a. Bahan pencemar senyawa organoklorin jenis PCBs

Polikhorobiphenil (PCB) adalah suatu senyawa suatu senyawa organoklorin yang mempunyai sifat racun yang sama dengan peptisida dan mempunyai sifat yang persisten atau sukar di pecah dialam di alam.

Ciri-ciri PCBs sebagai berikut; dapat berbentuk cairan atau padat, tidak berwarna dan kuning muda. Disamping itu PCBs mudah menguap dan mungkin hadir sebagai uap air di udara dan tidak diketahui bau maupun rasanya. PCBs yang masuk ke lingkungan adalah dalam bentuk gabungan komponen individu chlorinated biphenyl, yang dikenal sebagai congener-congener artinya sama dengan tidak murni.

Menyadari pentingnya air sebagai media pembawa utama bahan-bahan kimia, maka OEDC kelompok expert untuk degradation dan accumulation mengrekomendasikan penggunaan ikan sebagai representative dari spesies hewan uji bioconcentration (Geyer et al.,1985).

Seperti sudah dijelaskan bahwa, untuk mengevaluasi potensial karakter PCBs di lingkungan serta senyawa-senyawa lainnya, yaitu dengan menggunakan karakteristik physicochemicalnya. Oleh karena kapasitas suatu bahan kimia untuk bioakumulasi secara umum tergantung pada besarnya konsekwensinya di lingkungan. Senyawa organochlorine seperti PCB, DDT dan BHC, merupakan bahan-bahan kimia yang lipophilic, sangat terkenal terakumulasi dalam jaringan tubuh hewan darat maupun air.

b. Bahan pencemar senyawa organoklorin jenis DDT

DDT (1,1,1- Tricloro-2,2-bis(clhorophenil)etane) merupakan insektisida sintetis khususnya dibidang pertanian. Sifatnya yang sangat berbahaya di lingkungan dan tahan lama di alam, maka senyawa ini di larang penggunaaannya. Tetapi penggunaannya masih terbatas hanya sebagai obat untuk nyamuk malaria diberbagai negara. DDT dapat mencapai ekosistem pesisir laut melalai berbagai rute seperti penggunaan secara langsung di permukaan air, kemudian secara tidak langsung melalui proses deposisi udara dari proses penguapan atau penguapan yang sudah mengendap di tanah, tanaman dan permukaan air, (Preston 1989).

Disamping itu sifat - sifat fisika dan kimia seperti daya larut yang rendah dalam air menyebabkan senyawa DDT mudah terikat dalam sedimen dasar dan terakumulasi dalam jaringan organisme.

Transportasi materi merupakan faktor penting keberadaan DDT di lingkungan dan hampir sebagian besar terdeposisi dan menghasilkan variabilitas konsentrasi DDT dan derivativennya di sediment, (Ouyang et al 2003;Hartwell, 2008). Berbagai sirkulasi air seperti aliran sungai dan arus pasang surut dapat mempengaruhi sebaran deposit yang dapat ditujukan oleh berbagai variasi komposisi ukuran sediment. Hal ini di sebabkan oleh fraksi halus sedimen umumnya memiliki residen time yang relatif lama di bandingkan dengan fraksi kasar seperti pasir.

Keberadaan DDT sangat umum di temukan di lingkungan perairan termasuk sedimen. Secara keseluruhan informasi diatas memberikan indikasi bahwa konsentrasi DDE lebih tinggi dari pada DDD yang berarti perubahan cenderung dalam kondisi aerobic.

c. Bioremediasi lingkungan tercemar pestisida

Dalam pengelolaannya, ketika pencemaran pestisida sudah terlanjur terjadi, alternatif pengolahan tanah terkontaminasi pestisida dapat dilakukan dengan pendekatan biologis (bioremediasi). Secara teknis perkembangan bioremediasi pestisida juga terkendala dengan kurang efektifnya agent biologis mendegradasi pestisida sebagai akibat dari ketersediaan biologis (bioavaibility) pestisida didalam tanah terbatas sehingga membatasi keberhasilan mikroba melakukan kontak dan mengurai pestisida target. Guna memperbaiki performa bioremediasi pestisida, keberhasilan proses yang berlangsung dapat tergantung pada :

1. Ketersediaan mikroorganisme agen bioremediasi,

2. Kondisi optimal bagi pertumbuhan dan aktifitas agen mikroba, dan

3. Peningkatan bioavaibilitas pestisida di tanah.

d. Mikroorganisme agent

Jenis jenis mikroorganisme lain yang sudah banyak diidentifikasi sebagai agent bioremediasi pestisida adalah Phanerochaete, Nocardia, Pseudomonas, Alcaligenes, Acinetobacter, dan Burkholderia. Dalam riset riset bioremediasi pestisida Phanerochaete chrysosporium dikenal mampu mendegradasi ragam pestisida seperti DDT, DDE, PCB, Chlordane, Lindane, Aldrine, Dieldrine dan lain sebagainya. Kendatipun tidak selalu ditemui disetiap jenis tanah dan tempat (kayu atau pohon yang lembab).

e. Peningkatan ketersediaan biologis pestisida di tanah.

Peran rumput laut dan/atau limbah hasil olahan rumput laut dalam kajian bioremediasi pestisida adalah sebagai penyumbang ion Na+ yang ditenggarai dapat meningkatkan dispersi tanah, kedua adanya senyawa senyawa organik terlarut pada rumput laut dapat meningkatkan kelarutan dari pestisida sehingga lebih dapat terakses oleh agent mikroba dan terakhir adanya kandungan asam alginit dan manitol yang dapat berperan sebagai agen pengikat (chelating) serta penggembur tanah. Penambahan rumput laut ataupun limbah rumput laut dalam proses bioremediasi tanah terkontaminasi pestisida dapat merubah sifat dari tanah. Rumput Laut dapat membantu penurunan konsentrasi pestisida (e.g. DDT) melalui mekanisme pelepasan ion ion anorganik seperti Na+, Ca+, Mg+, dan K+ dan material organik terlarut yang keluar dari ekstrak rumput laut (Kantachote et al., 2004).

Pestisida biasanya terikat dengan ikatan ikatan kimia dengan senyawa humus (humic substances) terlarut sehingga bioavaibilitasnya menjadi rendah. Lebih lanjut, peningkatan kation (ion ion bermuatan positif, +) anorganik dapat menyebabkan peningkatan ikatan ion ion pada tanah yang menyebabkan cross-linking material material humus dengan pestisida tergantikan oleh kation kation tadi setelah didahului dengan kondensasi humus. Hal tersebut dapat meningkatkan ketersediaan DDT secara biologis dalam tanah untuk dapat termanfaatkan atau paling tidak terlibatkan didalam suatu reaksi dimana agen biologis mikroorganisme aktif. Peningkatan degradasi pestisida dapat terjadi secara aerobik (adanya oksigen) dan anerobik (tidak adanya oksigen).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan yang dapat ditarik sebelumnya serta melihat dari tujuan awal penulisan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan dari penulisan makalah “Pencemaran Organoklorin” ini, yaitu :

§ Keberadaan organoklorin dapat menimbulkan bahaya serius terhadap kesehatan dan lingkungan.

§ Sebuah fase-keluar dari produksi, penggunaan dan pembuangan bahan kimia tersebut ke lingkungan harus dimulai segera.

§ Sebuah kebijakan kesehatan publik yang menekankan pencegahan penyakit harus mengarah pada kebijakan lingkungan yang melarang pembuangan lingkungan menyebabkan penyakit-bahan kimia, terutama organoklorin.

3.2 Saran

Mengingat kondisi yang ada saat ini, dimana seringkali kita menemukan masalah-masalah terhadap penggunaan Organoklorin yang menimbulkan dampak pada kesehatan manusia sampai pada pencemaran lingkungan, maka penulis menyarankan :

§ Perlunya kesadaran diri dari masing-masing individu untuk lebih meningkatkan pengetahuannya akan penggunaan Organoklorin.

§ Pemerintah harus membatasi dengan tegas produksi serta penggunaan Organoklorin

§ Berusaha mengimbangi produksi bahan alami tanpa mengenyampingkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Wikipedia Terjemahan Google. 2009, 29 Oktober. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Organochloride, http://en.wikipedia.org/wiki/Organochloride, www.googletranslate.com. Diakses tanggal 17 Februari 2010

Anonim. The Alliance For A Clean Environment. 1993. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.acereport.org/chlorine.html&prev=/translate_s%3Fhl%3Did%26q%3Dpencemaran%2Borganoklorin%26tq%3Dorganochlorines%2Bpollution%26sl%3Did%26tl%3Den%26start%3D20, http://www.acereport.org/chlorine.html, www.googletranslate.com. Diakses 19 Februari 2010.

Siahaan, N.H.T, 1989a, Pencemaran Laut dan kerugian yang Ditimbulkan (I), dalam Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta: 8 Juni 1989, www.google.com. Diakses tanggal 19 Februari 2010.

Pramudianto, Bambang, 1999, Sosialisasi PP No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB, www.google.com. Diakses tanggal 19 Februari 2010.

NK Ferdy. 2009. Pencemaran Senyawa Organoklorin Jenis PCBs dan DDT di Laut. http://blogkesayangan.blogspot.com/2010/02/pencemaran-senyawa-organoklorin-jenis.html/ . www.google.com. Diakses tanggal 20 Februari 2010.